Kategori Bangunan & Tengara
Kontras dengan bangunan sekolah yang muram itu, senyum tergambar dari wajah belia. Di sana, sudah ada beberapa rekan menunggu. Rindu masih sulit dilawan. Saat itu adalah hari kedua masuk sekolah setelah libur panjang.
”Senang bisa kembali masuk sekolah, bertemu lagi dengan teman-teman dan guru-guru,” kata Raira (10), siswa kelas V MI Pasawahan.
MI Pasawahan berdiri di atas tanah sekitar 1.600 meter persegi. Total ada 94 siswa belajar di sana. Mereka terpaksa belajar dalam kondisi berdesakan di tiga ruang kelas yang ada. Dari tiga ruang itu, satu ruang dibagi untuk dua rombongan belajar, yakni kelas I dan II. Ruangan itu disekat lemari kayu.
Hanya siswa kelas VI yang bisa belajar di satu ruang kelas utuh. Sebabnya, mereka perlu konsentrasi lebih tinggi karena akan menghadapi ujian kelulusan.
Satu ruang kelas lain kondisinya tidak layak. Besi-besi fondasi bangunan dibiarkan menjuntai. Hanya ada atap dan lantai, belum ada dinding yang menyelimuti ruangan itu.
Kondisi itu membuat suasana belajar jauh dari layak. Sebagian siswa seperti siswa kelas III terpaksa belajar di lorong sekolah. Mereka kerap menumpang di teras rumah warga, mushala, posyandu, hingga tepi hutan, untuk menuntut ilmu.
Untuk membesarkan hati siswa, guru di sana menyebutnya konsep belajar di luar ruangan itu dengan istilah sekolah alam. Padahal, cara itu dipilih karena tidak ada pilihan yang lebih layak untuk diambil.
”Saat hujan, siswa kerap belajar dengan baju basah. Sepanjang pelajaran, mereka menggigil kedinginan,” kata Yayat Hasatul Hasani (35), salah satu guru di MI Pasawahan.
Baca juga: Ruang Kreativitas Tanpa Batas dari Jabar
Siswa berjalan melewati jalanan yang rusak akibat tanah bergerak menuju Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (19/7/2022). Mayoritas siswa berjalan kaki menuju sekolah selama lebih kurang 20 menit.
Pandemi membuat suasana belajar penuh dinamika. Kala itu, pemerintah melarang pembelajaran tatap muka untuk menekan penularan Covid-19.
Padahal, di Pasawahan, jaringan internet adalah barang langka. Sinyal sulit didapat karena desa itu dikelilingi bukit. Selain itu, tidak banyak orang di Desa Pasawahan punya gawai. Bantuan kuota internet dari pemerintah tidak banyak berguna.
Dalam kondisi itu, pikiran-pikiran kreatif kemudian muncul. Yayat berinovasi menggelar pendidikan jarak jauh menggunakan handy talkie (HT). Kebetulan, Yayat punya segudang pengalaman sebagai sukarelawan kebencanaan. Dia terbiasa berkomunikasi dengan HT saat di lokasi susah sinyal.
Dengan tiga HT milik Yayat dan sejumlah pinjaman HT dari organisasi masyarakat, pembelajaran jarak jauh di MI Pasawahan bisa dilakukan lancar. Setiap satu HT dipakai satu kelompok yang terdiri dari enam-sepuluh siswa. Siswa yang jarak rumahnya berdekatan dijadikan satu kelompok.
”Belajar pakai HT menyenangkan karena bisa bareng sama teman-teman. Kalau pakai ponsel, kami tidak bisa karena tidak punya,” ucap Adit (11), siswa kelas VI.
Sikap lapang dada siswa itu menyejukkan. Di usia belia, mereka sadar mengeluh bukan solusi. ”Inginnya punya kelas bagus. Tapi, bisa sekolah saja rasanya sudah enak dan nyaman,” kata Ulfa (10), siswa kelas V.
Baca juga: Guru Tangkas di Pelosok Tasikmalaya Menerobos Batas
Siswa beraktivitas di Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (19/7/2022). Sekolah yang ambruk karena bencana gempa bumi dan tanah bergerak pada tahun 2016 itu belum bisa dibangun kembali seperti sedia kala lantaran keterbatasan biaya.
Ulfa tidak berlebihan saat mengatakan bersyukur bisa tetap belajar. Meski belum tahu nikmat sekolah dengan akses lebih baik, mereka tahu ada rekan satu desa masih sulit sekolah.
Salah satu penyebabnya, sebagian orangtua enggan memberi kesempatan anaknya menuntut ilmu. Mereka menganggap sekolah hanya buang waktu dan uang. Ketimbang sekolah, orangtua itu meminta anak-anaknya bekerja. Tujuannya, membantu mencukupi kebutuhan keluarga bukan membuangnya.
Sulit menyalahkan begitu saja orangtua yang enggan menyekolahkan anaknya. Mayoritas hanya tamatan sekolah tingkat dasar. Bagi mereka, bisa membaca, menulis, dan berhitung sederhana saja sudah cukup.
Akibatnya, di tengah persaingan hidup yang berat, mereka hanya bekerja serabutan menjadi buruh tani. Penghasilan sekitar Rp 500.000- Rp 1.000.000 per bulan sudah terbilang istimewa.
Kondisi itu ditambah dengan kerentanan bencana di Pasawahan. Tahun 2016 misalnya, gerakan tanah merusak rumah. MI Pasawahan pun ikut terdampak. Bangunan lama sekolah yang berdiri tahun 1969 itu hancur dan hingga kini belum berdiri kokoh lagi.
Setelah hampir satu tahun belajar di tenda, sekolah baru mulai dibangun di lahan lain milik kepala sekolah saat itu. Pihak sekolah membayar tanah itu dengan cara dicicil. Hingga kini, uang cicilan untuk melunasi tanah masih kurang sekitar Rp 85 juta.
Guru berada di depan kelas V di Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (19/7/2022). Sekolah yang ambruk karena bencana gempa bumi dan tanah bergerak pada tahun 2016 itu belum bisa dibangun kembali seperti sedia kala lantaran keterbatasan biaya. Siswa terpaksa belajar di ruang tanpa dinding. Kondisi itu kian sulit saat hujan turun. Sebab, pakaian mereka basah karena cipratan air.
Semua membuktikan hidup di desa berjarak sekitar 55 kilometer atau harus ditempuh 2,5 jam dari pusat kota Kabupaten Ciamis itu tidak mudah. Bahkan, bagi mereka yang punya pendidikan lebih baik, dinamika di Pasawahan jauh dari sederhana, seperti yang dialami guru MI Pasawahan.
Di sekolah itu, delapan dari total sembilan guru lulusan perguruan tinggi. Hanya satu orang berstatus aparatur sipil negara, sisanya tenaga honorer.
Setiap bulan, mereka digaji Rp 300.000-Rp 400.000. Belakangan, sebagian dari mereka yang sudah mengikuti sertifikasi mendapatkan tambahan insentif Rp 250.000 per bulan.
Meski dibayar rendah, dedikasi mereka tinggi. Setiap bulan, mereka ikut menyisihkan uang untuk membantu pihak yayasan mencicil biaya pembelian tanah sekolah. Semua dilakukan agar siswa lebih nyaman bersekolah.
Tak hanya pendidikan formal, mereka juga membekali siswa dengan keterampilan usaha dan kemampuan penunjang. Harapannya, siswa bisa memiliki kehidupan lebih baik kelak.
”Setiap siswa selalu kami tanyai, minatnya apa, sukanya bikin apa. Misalnya, kami ajari bikin gelang, termasuk dicarikan akses penjualannya,” ucap Yayat.
Sejauh ini, pendekatan minat itu membuahkan hasil. Siswa yang sudah mahir bermain musik, misalnya, sering diminta tampil di hajatan-hajatan warga. Dari pentas yang ditampilkan, mereka mendapat upah. Selain dari pentas ke pentas, mereka juga mendapatkan bayaran dari hasil melatih musik di sekolah lain yang lebih mapan.
Menariknya, kesukarelaan guru menular kepada siswa. Mereka menyisihkan sebagian pendapatan untuk kas kelas. Uangnya untuk membiayai pembelian keperluan kelas.
Tidak hanya itu, pendapatan itu diberikan kepada orangtua. Cara itu sekaligus mematahkan argumen kolot sebagian orangtua. Anggapan ”lebih baik bekerja supaya mendapatkan uang daripada sekolah malah menghabiskan uang”, perlahan dikikis dengan bukti nyata.
”Sekarang, sebagian alumni sudah memiliki pekerjaan lebih baik. Pilihan warga tidak hanya buruh tani, tapi ada yang sudah menjadi tentara, pelaut, guru, hingga wirausahawan muda,” katanya.
Baca juga: Rindu Guru
Anak-anak beraktivitas di Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (19/7/2022). Sekolah yang ambruk karena bencana gempa bumi dan tanah bergerak pada tahun 2016 itu belum bisa dibangun kembali seperti sedia kala lantaran keterbatasan biaya. Siswa terpaksa belajar di ruang tanpa dinding, sebagian lagi belajar di teras sekolah, dan yang lainnya belajar berdesakan di satu ruangan dengan sekat lemari kayu.
Yayat tidak membual. Sebanyak ratusan kandang lebah di sekitar lingkungan MI dan hutan sekitar Pasawahan jadi buktinya.
Pemilik kandang lebah itu adalah Dianuari (25). Dia lulusan MI Pasawahan yang kini menjadi pengusaha madu. Dian terjun ke bisnis produksi madu alami berkat ilmu-ilmu kewirausahaan yang ditanamkan di MI Pasawahan.
”Guru menekankan kami mandiri dan memanfaatkan di sekitar kita. Apalagi, kita hidup di wilayah yang amat kaya sumber daya alam,” tutur Dian.
Menurut Dian, Pasawahan punya potensi lebah Apis cerana yang besar. Hal itu yang mendorongnya menampung madu lebah itu. Kini, selain 19 kandang di sekitar sekolah, ia memiliki 100 kandang yang ditempatkan di hutan sekitar Pasawahan.
Kandang-kandang lebah berukuran sekitar 80 sentimeter x 60 sentimeter. Setiap kandang diletakkan di atas penampang kayu setinggi 2 meter. Warna kandang maupun penampang itu berwarna coklat.
Setiap kandang dihuni ratusan ribu lebah pekerja. Rata-rata koloni bisa menghasilkan 2-3 kilogram madu per tahun.
Memulai tahun 2019, madu-madu yang dihasilkan lebah hanya dikonsumsi sendiri. Baru tahun 2020, madu lebah-lebah liar itu dikemas lalu dijual.
Madu-madu itu dijual Dian ke daerah-daerah di Jabar, seperti Ciamis, Banjar, Pangandaran, hingga Bandung. Setiap satu botol madu berukuran 460 mililiter dijual Rp 180.000.
”Sekarang saya bisa menjual sekitar 200 botol madu per tahun. Dalam sebulan, saya dapat Rp 3 juta dari madu,” kata Dian sembari mengusap-usap layar ponsel pintar yang harganya setara delapan kali pendapatan bulanan masyarakat Pasawahan.
Siswa berjalan melewati jembatan yang rusak akibat tanah bergerak menuju Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (19/7/2022). Mayoritas siswa berjalan kaki menuju sekolah selama lebih kurang 20 menit.
Setelah menjadi wirausahawan, Dian tidak lupa sekolahnya. Dian membagi sebagian hasil penjualan madunya untuk pihak sekolah. Bagaimanapun, sekolah itu memantik kreativitas dan menyadarkan Dian akan adanya potensi produksi madu di wilayah itu.
Ke depan, Dian berharap, anak-anak di sekolah itu bisa mengikuti jejaknya, sejahtera dengan cara memaksimalkan potensi alam yang ada. Ia ingin, anak-anak Pesawahan tidak mudah minder meski tinggal di pelosok.
Kreativitas, ujar dia, perlu terus diasah supaya bisa mengambil peluang usaha dari apa yang ada di sekitarnya. Dengan begitu, kehidupan masyarakat Pasawahan bisa lebih sejahtera.
Selasa petang, saat matahari bersiap kembali ke peraduannya, sinar kemerahan jatuh di atap kandang-kandang lebah itu. Lebah-lebah yang seharian berburu nektar kembali ke kandang.
Pemandangan itu serupa dengan bocah-bocah MI Pasawahan. Sekolah lebih dari sekadar bangunan megah. Meski belum jadi, keberadaannya menjadi rumah menimba banyak bekal untuk masa depan.
Baca juga: Mereka Memilih Setia meski Susah Sejahtera